Selasa, 11 Desember 2018

Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Terdapat Peralihan Status atas Sebagian Tanah HPL No.2/Penggilingan Menjadi Hak Milik pada 23 Bidang Tanah Dilakukan Tanpa Persetujuan Pemprov DKI Jakarta 

Pemprov DKI Jakarta menyajikan nilai Aset Kemitraan dengan Pihak Ketiga dalam Neraca per 31 Desember 2017 (Audited) senilai Rp6.498.705.739.298,00 atau naik 1,78% jika dibandingkan dengan Aset Kemitraan dengan Pihak Ketiga per 31 Desember 2016 (Audited) senilai Rp6.385.119.814.778,00. 

Dalam pelaksanaan kegiatan penatausahaan Aset Kemitraan Dengan Pihak Ketiga tersebut di atas, Pemprov DKI Jakarta mendapatkan hak penguasaan atas tanah negara dalam bentuk Hak Pakai yang berlangsung selama digunakan untuk keperluan Pemprov DKI Jakarta. Apabila Pemprov DKI Jakarta menggunakan tanah tersebut selain untuk kepentingan Pemprov DKI Jakarta, maka hak pakai dikonversi menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL). 

Atas bagian-bagian tanah HPL yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut, di atasnya dapat diterbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada pihak ketiga sesuai dengan rencana peruntukannya setelah mendapat rekomendasi dari Pemprov DKI Jakarta. 

BPK telah mengungkapkan permasalahan tanah HPL pada LHP atas LKPD Pemprov DKI Jakarta TA 2013 Nomor 18.B/LHP/XVIII.JKT.2/06/2014 tanggal 19 Juni 2014. LHP tersebut mengungkapkan bahwa tanah dengan sertifikat HPL seluas sekitar 6.811.544 m2 tidak tercatat dalam daftar inventaris dan administrasi atas tanah dengan Sertifikat HGB di atas HPL seluas sekitar 5.820.892 m2 tidak memadai. 

Rincian permasalahan sebagaimana dimuat dalam LHP adalah sebagai berikut: 
a. Tanah yang bersertifikat HPL milik Pemprov DKI Jakarta tidak tercatat dalam inventaris; 

b. BPKAD tidak memiliki daftar HGB yang telah diterbitkan di atas HPL, copy HGB di atas HPL yang telah dijadikan jaminan utang oleh pihak ketiga, dan data lengkap jumlah sertifikat HPL dan luasannya; 

c. Pemprov DKI Jakarta tidak memiliki fisik sertifikat atas tiga HPL yaitu 
HPL Kamal Muara Nomor 1, 
HPL Mangga Dua Selatan atau 1998 dan 
HPL Senen Nomor 1; 

d. BPKAD tidak membuat pemantauan atau monitoring atas tanah-tanah yang bersertifikat HPL yang sudah diterbitkan sertifikat HGB di atasnya. Atas permasalahan tesebut, BPK merekomendasikan kepada Gubernur agar segera membuat peraturan mengenai monitoring atas pemberian rekomendasi HGB di atas HPL dan memerintahkan Kepala BPKAD untuk melaksanakan inventarisasi atas aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta dengan sertifikat HPL yang di atasnya telah diterbitkan HGB. Pada pemeriksaan LKPD TA 2014 BPK mengungkapkan permasalahan HPL pada LHP Nomor 13.B/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.2/06/2015 tanggal  17 Juni 2015. 

LHP tersebut mengungkapkan terdapat bidang tanah dengan sertifikat HPL minimal seluas 1.453.465 m2 tidak tercatat dalam Daftar Inventaris, diantaranya seluas 1.169.464 m2 dengan HGB di atas HPL didokumentasikan secara tidak memadai. 

BPK menemukan sebanyak 23 bidang tanah HPL seluas 1.453.465 m2 yang telah dikerjasamakan dengan pihak ketiga belum dicatat dalam Neraca per 31 Desember 2014. Dari 23 bidang tanah bersertifikat HPL tersebut diketahui bahwa BPKAD hanya menyimpan 13 sertifikat asli, satu sertifikat berupa fotokopi dokumen dan sisanya sebanyak sembilan berupa fotocopy dokumen dan sisanya sebanyak sembilan sertifikat tidak diketahui keberadaannya.  

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan kepada Gubernur menginstruksikan Kepala BPKAD melakukan penertiban dan pengamanan serta inventarisasi atas aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta yang bersertifikat HPL dan HGB di atas HPL yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga serta membuat program penyelesaian sertifikasi tanah yang jelas dan terukur; dan menerbitkan petunjuk teknis pengelolaan arsip vital terkait dengan pengelolaan aset tanah. 

Pada pemeriksaan LKPD TA 2015 BPK kembali mengungkapkan permasalahan HPL pada LHP Nomor 10.B/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.2/05/2016 tanggal 31 Mei 2016. LHP tersebut mengungkapkan bahwa pengendalian, pengelolaan dan pencatatan aset tanah dengan sertifikat HPL minimal seluas 1.453.465 m2 tidak memadai, diantaranya seluas 79.945 m2 beralih hak kepemilikan tanpa persetujuan Pemprov DKI Jakarta. Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan kepada Gubernur agar memerintahkan Kepala BPKAD untuk. 

a. Berkoordinasi dengan Kepala Kantor Pertanahan Wilayah sesuai ketentuan yang berlaku untuk menertibkan dan mengamankan aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta dengan sertifikat HPL; 

b. Mengajukan upaya hukum untuk mengembalikan status tanah milik Pemprov DKI Jakarta yang telah berubah status menjadi SHM dan HGB murni pada status semula yaitu HGB di atas HPL; dan 

c. Memberi sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Bidang Pengendalian Aset yang belum optimal dalam melaksanakan tugas pengendalian bukti kepemilikan aset tanah yang menjadi wewenangnya.

Sampai dengan berakhirnya pemeriksaan, Pemprov DKI Jakarta belum selesai menindaklanjuti rekomendasi BPK untuk melakukan penertiban, pengamanan serta inventarisasi atas aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta yang bersertifikat HPL. Berdasarkan pemeriksaan atas pencatatan dan pengelolaan HPL Pemprov DKI Jakarta diketahui bahwa pencatatan dan pengelolaan kerja sama di atas HPL Pemprov DKI Jakarta belum memadai dan terdapat peralihan status atas sebagian tanah HPL Nomor 2/Penggilingan menjadi hak milik dilakukan tanpa persetujuan Pemprov DKI Jakarta dengan uraian sebagai berikut: 

a. Pencatatan dan pengelolaan kerja sama di atas HPL Pemprov DKI Jakarta belum memadai 
Berdasarkan pemeriksaan data HPL di Bidang Inventarisasi, Data, Informasi dan Dokumentasi Aset BPAD, diketahui terdapat 36 HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta dengan rincian 36 HPL tersebut disajikan pada table berikut:
.  
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pencatatan dan pengelolaan kerja sama di atas HPL Pemprov DKI Jakarta belum memadai yang ditunjukkan dengan kondisi sebagai berikut:

1) Sebanyak 13 sertifikat HPL Pemprov DKI Jakarta belum ditemukan keberadaan fisiknya Berdasarkan data pada Bidang Indidok BPAD diketahui bahwa dari 36 HPL an. Pemprov DKI Jakarta, sampai dengan pemeriksaan tanggal 30 April 2018 terdapat 13 sertifikat HPL yang keberadaan fisik sertifikatnya belum ditemukan di gudang penyimpanan dokumen BPAD DKI Jakarta Pulomas, dengan rincian pada tabel berikut:


2) Terdapat HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta yang belum dicatat oleh BPAD dan belum diungkap dalam CALK  Terkait pengelolaan HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta, BPK telah mengirimkan Surat Konfirmasi Tanah HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta melalui Surat Nomor 41/S/XVIII.JKT/02/2018 tanggal 27 Februari 2018 dan Surat Nomor 80/S/XVIII.JKT/04/2018 tanggal 4 April 2018.  Berdasarkan jawaban konfirmasi dari BPN Kota Administrasi Jakarta Selatan diketahui bahwa terdapat HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta yang belum dicatat oleh BPAD dan belum diungkapkan dalam CaLK, yakni 
HPL Nomor 1/Tebet Barat dan 
HPL Nomor 2/Tebet Barat, dengan rincian sebagai berikut: 


3) Pemprov DKI Jakarta belum selesai menginventarisasi aset-aset kerja sama di atas tanah HPL Berdasarkan data dan dokumen yang diperoleh dari Bidang Indidok BPAD diketahui bahwa dari 36 HPL yang tercatat, terdapat 15 bidang HPL yang teridentifikasi dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga. Dari 15 HPL yang dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga tersebut, Subbidang Pemanfaatan Aset pada Bidang Pembinaan, Pengendalian dan Pemanfaatan Aset (P3A) BPAD hanya memiliki 13 dokumen perjanjian kerja sama, dengan rincian dimuat pada tabel berikut: 


Bidang Indidok dan Bidang P3A belum melakukan inventarisasi dan identifikasi lebih lanjut ada atau tidaknya kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan Pihak Ketiga selain dari 15 HPL tersebut. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga belum memiliki mekanisme monitoring atas aset kerja sama di atas tanah HPL Pemprov DKI Jakarta. 

4) Pencatatan atas tanah HPL oleh Unit Pengelola Kawasan Pusat Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Permukiman Pulogadung (UPK PPUMKMP Pulogadung) belum sesuai ketentuan   
Dalam laporan keuangan UPK PPUMKMP Pulogadung tercatat 

  • aset tetap tanah senilai Rp540.823.284.000,00 diantaranya berupa tanah HPL Nomor 00001/Penggilingan seluas 371.480 m² senilai Rp426.087.560.000,00. 
  • Selain itu terdapat juga aset lainnya berupa Kerjasama Operasi berupa tanah, bangunan dan perumahan lainnya seluas 307.938m² senilai Rp246.966.276.000,00. 

Hasil pemeriksaan terkait ketentuan pencatatan aset menunjukkan permasalahan sebagai berikut: 

a) Terdapat kesalahan dalam pencatatan aset tetap UPK PPUMKMP Pulogadung Berdasarkan LHP Pendapatan dan Belanja Daerah pada Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah serta Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, Nomor 23/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.4/12/2016 diketahui bahwa atas HPL Nomor 00001/Penggilingan seluas 371.480 m2, diantaranya seluas 10.506m2 dikerjasamakan dengan PT ASP dengan bentuk kerja sama Bangun Serah Guna (BSG) tertanggal 1 Desember 2004, dengan jangka waktu lima tahun atau berakhir tanggal 30 November 2011. 

Di atas HPL tersebut, telah terbit HGB Nomor 02773/Penggilingan an. PT ASP. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, belum ada penyerahan aset BSG dari PT ASP ke Pemprov DKI Jakarta karena masih terdapat kewajiban PT ASP yang belum dipenuhi. 

UPK PPUMKMP Pulogadung mencatat aset tanah dalam KIB A seluas 371.480m2 senilai Rp426.087.560.000,00. Tanah KSO seluas 10.506m2 termasuk dalam pencatatan keseluruhan tanah HPL tersebut. Seharusnya atas aset tanah yg dikerjasamakan dengan PT ASP dicatat sebagai aset kerjasama di akun Aset Lainnya dan bukan di akun Aset Tetap. 

b) Pencatatan Aset KSO di akun Aset Lainnya UPK PPUMKMP Pulogadung tidak sesuai ketentuan
Tanah HPL No.2/Penggilingan dan JPL No.10/Jatinegara, diantaranya dikerjasamakan (KSO) seluas 307.938m2 dengan PT CSP. Tanah seluas tersebut dicatat di UPK PPUMKMP Pulogadung pada akun Aset Lainnya senilai Rp246.966.276.000,00. Seharusnya atas aset kerjasama KSO tersebut dicatat sebagai Aset Kerjasama di PPAD sebagai Pengelola Barang karena Perjanjian Kerja Samanya ditandatangani oleh Gubernur. 

5) Status Aset yang dikelola PD Pasar Jaya yang terletak di atas HPL Nomor 1/Cideng Belum Jelas dan Kerjasama dengan PT GI di atas HPL Nomor 1/Cideng Belum Didukung Perjanjian Kerja Sama Pada tahun tanggal 10 Februari 1981 Pemprov DKI Jakarta melalui Surat Nomor 649/IIIB/1981 memberikan ijin kepada PT GI untuk mendirikan blok pertokoan/perkantoran bertingkat tiga di atas hak tanah Negara, yang terletak di Jalan Biak Gambir Jakarta Pusat. 

Dari dokumen tersebut diketahui bahwa luasan tanah yang akan dimohonkan untuk dibangun di atas tanah seluas 13.950 m2.  Berdasarkan Naskah Serah Terima Bangunan Pertokoan V.I.J di Jalan Biak Nomor 18/SB-HK/PJ/BA/1981 tanggal 8 Desember 1981 diketahui bahwa PT GI menyerahkan bangunan pertokoan V.I.J di Jalan Biak Jakarta Pusat kepada PD Pasar Jaya. Penyerahan kepada PD Pasar Jaya didasarkan pada Surat Kuasa Nomor 9080/XII/1981 tanggal 7 Desember 1981 dari Gubernur kepada Direktur Utama PD Pasar Jaya untuk mewakili Gubernur DKI Jakarta menerima gedung pertokoan V.I.J di Jalan Biak Jakarta Pusat berikut seluruh harta kekayaan yang terdapat di dalamnya dari PT GI.

Sampai dengan pemeriksaan berakhir, BPK mendapat penjelasan dari pihak PD Pasar Jaya bahwa tidak terdapat dokumen serah terima aset dari Pemprov DKI Jakarta kepada PD Pasar Jaya. Atas bidang tanah yang berlokasi di Jalan Biak tersebut telah diterbitkan HPL Nomor 1/Cideng atas nama Pemprov DKI Jakarta seluas 13.395 m2 tanggal 7 September 1987, dengan penunjukan Tanah Negara, bekas Big.Verp.No.8202-Seb. 

Di atas HPL tersebut telah terbit HGB No.1519/Cideng an. PT GI seluas 1.472m2. Berdasarkan hasil konfirmasi dengan BPN Kota Administrasi Jakarta Pusat diketahui bahwa atas bidang tanah HPL Nomor 1/Cideng terdapat perjanjian kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan PT GI Nomor 1 Tahun 1979 tanggal 3 Januari 1979. Namun demikian, sampai dengan pemeriksaan berakhir, BPK tidak memperoleh Perjanjian Kerja Sama tersebut, sehingga tidak dapat diketahui hak-hak dan kewajiban Pemprov DKI Jakarta dan  PT GI atas pengelolaan pertokoan tersebut.  

Berdasarkan pengamatan fisik pada tanggal 10 April 2018 oleh BPK bersama Subbidang Pemanfaatan Aset BPAD dan Pengurus Barang Unit Pengelola Gelanggang Remaja Jakarta Pusat diketahui bahwa atas lokasi HPL tersebut terdapat Stadion Sepakbola VIJ, pertokoan sisi selatan yang dikelola oleh PD Pasar Jaya dan pertokoan sisi utara sebagaimana termuat dalam gambar situasi pada Sertifikat HPL Nomor 1/Cideng seluas 1.472m2, dikelola oleh perorangan dengan status hak belum diketahui. Atas HPL Nomor 1/Cideng seluas 13.395 m2 UP Gelanggang Remaja Jakarta Pusat mencatatnya sebagai aset tanah, Tanah Fasilitas Olahraga Stadion Sepakbola VIJ  dengan kode barang 01.01.13.01.005 seluas  13.393 m2 senilai Rp18.955.050.000,00. 

b. Terdapat peralihan status atas sebagian tanah HPL nomor 2/Penggilingan menjadi hak milik dilakukan tanpa persetujuan Pemprov DKI Jakarta 
HPL merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang yang mewakili negara. Pemegang hak pengelolaan adalah instansi pemerintah, jawatan atau badan milik negara. 
Berdasarkan LHP LKPD TA 2015 Nomor 10.B/LHP/XVIII.JKTXVIII.JKT.2/05/2016  tanggal 31 Mei 2016 telah diungkap temuan terdapat Pengendalian, pengelolaan dan pencatatan Aset Tanah dengan HPL minimal seluas 1.453.465 m2 tidak memadai, diantaranya seluas 79.945 m2 beralih hak kepemilikan tanpa persetujuan Pemprov DKI Jakarta. 

Dari tanah yang beralih kepemilikan  seluas 79.945 m2 tersebut terdapat peralihan tanah status HPL 1/Wijaya Kusuma menjadi HGB murni dan SHM seluas 61.149 m2 tanpa Persetujuan Pemprov DKI Jakarta. Berdasarkan temuan dalam LHP tersebut diperoleh informasi sebagai berikut 

1) Pemprov DKI Jakarta telah melakukan kerjasama dengan PT CLS atas tanah HPL seluas 8,6 Ha yang selanjutnya dimanfaatkan oleh PT CLS untuk membangun perumahan dan pertokoan; 

2) Sertifikat HPL Nomor 1 Wijaya Kusuma dikeluarkan oleh Kantor Agraria Jakarta Barat pada tanggal 1 Juni 1988 dengan luas 86.074 m2; 

3) Pada 23 Juni 1995 Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat mengeluarkan sertifikat HGB tanpa status (HGB murni)  di atas tanah HPL tersebut;   

4) Pada 31 Oktober 2008 pemilik sertifikat HGB murni tersebut meningkatkan status HGB tersebut menjadi SHM dan disetujui oleh Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat; 

5) Berdasarkan peta HPL yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat diketahui terdapat bangunan perumahan dan pertokoan yang berdiri di atas tanah HPL minimal sebanyak 166 sertifikat tanah dengan status kepemilikan Hak Milik perorangan dan sebanyak 143 sertifikat tanah dengan status HGB seluas 61.149 m2

Atas temuan tersebut di atas BPK merekomendasikan kepada Gubernur agar memerintahkan Kepala BPKAD untuk: 
1) Berkoordinasi dengan Kepala Kantor Pertanahan Wilayah sesuai ketentuan yang berlaku untuk menertibkan dan mengamankan aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta dengan sertifikat HPL; 

2) Mengajukan upaya hukum untuk mengembalikan status tanah milik pemprov DKI Jakarta yang telah berubah status menjadi SHM dan HGB murni pada status semula yaitu HGB di atas HPL; dan  

3) Memberi sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Bidang Pengendalian Aset yang belum optimal dalam melaksanakan tugas pengendalian bukti kepemilikan aset tanah yang menjadi wewenangnya

Berdasarkan data tindak lanjut dengan posisi per 31 Desember 2017 Pemprov DKI Jakarta belum menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Hasil reviu peta HPL Pemprov DKI Jakarta pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diakses melalui website http://peta.bpn.go.id menunjukkan bahwa terdapat indikasi adanya bidang tanah dengan status Hak Milik pada HPL Nomor 2/Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. 

Hasil konfirmasi dari BPN Kota Administrasi Jakarta Timur dan pemeriksaan atas buku tanah pada tanggal 29 Maret 2018 dan 18 April 2018 diketahui sebagai berikut: 

1) Pada HPL Nomor 2/Penggilingan telah terbit tujuh HGB seluas 157.825 m2, lima diantaranya merupakan HGB atas nama PT CSP seluas 75.571 m2. Sedangkan atas HPL Nomor 10/Jatinegara telah terbit dua HGB seluas 78.692 m2, seluruhnya atas nama PT CSP. Rincian dimuat pada tabel berikut: 


2) Atas HGB Nomor 2027/Penggilingan atas nama PT CSP seluas 61.850m2 di atas HPL Nomor 2/Penggilingan an. Pemprov DKI Jakarta, telah terbit sebanyak 381 HGB seluas 53.732 m2, merupakan pemecahan atas HGB No.2027/Penggilingan; 

3) Berdasarkan peta bidang tanah yang dihasilkan dari aplikasi Geo KKP BPN diketahui bahwa di atas HPL Nomor 2/Penggilingan telah terbit sebanyak 23 (dua puluh tiga) bidang tanah dengan status Hak Milik. Sebanyak 23 bidang tanah Hak Milik tersebut terletak di Perumahan Jatinegara Baru, yang berasal dari HGB induk Nomor 2027/Penggilingan an. PT CSP.  

4) Dari sejumlah 23 bidang tanah dengan status Hak Milik tersebut, BPK telah melakukan pemeriksaan terhadap 20 Buku Tanah Hak Milik dengan total seluas 3.037 m2. Berdasarkan 20 Buku Tanah diketahui bahwa peningkatan HGB menjadi Hak Milik terjadi atas 13 bidang tanah di tahun 1999, satu bidang tanah di tahun 2000 dan 2001, dua bidang tanah di tahun 2005, satu bidang tanah masing-masing di tahun 2007, 2008 dan 2017. Nomor Hak Milik, Lokasi/Persil, Nama Pemegang Hak, dan keterangan lainnya atas 20 Buku Tanah tersebut 

Atas tiga buku tanah lainnya, yaitu Buku Tanah Nomor M.5100, M.5127, dan M.5257 tidak dapat dilakukan pemeriksan dokumen karena dokumen sedang dipinjam untuk kegiatan internal BPN Jakarta Timur; 

5) Kepala Sub Seksi Pemeliharaan Data Hak Tanah dan Pembinaan PPAT BPN Kota Administrasi Jakarta Timur menjelaskan bahwa penyebab terbitnya SHM di atas tanah HPL belum diketahui karena pejabat yang menandatangani sertifikat dan buku tanah sudah berpindah tugas dari Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur; 

6) Hasil pemeriksaan terhadap 20 Buku Tanah dan dokumen pendukungnya menunjukkan bahwa tidak terdapat persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan Nomor 2/Penggilingan dhi. Pemprov DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengalihan status tanah HPL  Nomor 2/Penggilingan menjadi Hak Milik tanpa persetujuan Pemprov DKI Jakarta. 

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yaitu: 
1) Pasal 42:  
a) ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan pengamanan Barang Milik Negara/Daerah yang berada dalam penguasaannya; 
b) ayat (2) yang menyatakan bahwa Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum’; dan 

2) Pasal 43 ayat (1) menyatakan Barang milik Negara/daerah berupa tanah harus dilengkapi disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. 

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pada Pasal 179:  
1) ayat (1) yang menyatakan bahwa pelaksanaan KSP dituangkan dalam perjanjian KSP antara Gubernur/Bupati/Walikota atau Pengelola Barang dengan mitra KSP setelah diterbitkan Keputusan Pelaksanaan KSP oleh Gubernur/Bupati/Walikota; 
2) ayat (2) yang menyatakan bahwa Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh mitra KSP dan: huruf (a) Gubernur, Bupati atau Walikota untuk BMD yang berada pada Pengelola Barang atau (b) Pengelola Barang untuk BMD yang berada pada Pengguna Barang 

c. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah pada Pasal 34 Ayat (7) yang menyatakan bahwa Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan; 

d. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 15 Akuntansi Aset Tetap Berbasis Akrual  Bab II Nomor 2.3 tentang Pengakuan Tanah Halaman 4 Alinea 1 menyatakan lebih lanjut PSAP 07 Paragraf 19 mengatur bahwa pengakuan aset tetap sangat andal bila aset tetap telah diterima atau diserahkan hak kepemilikannya dan/atau pada saat penguasaannya berpindah. Hak kepemilikan tanah didasarkan pada bukti kepemilikan tanah yang sah berupa sertifikat, misalnya Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifkat Hak Pakai (SHP), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat Hak Pengelolaan (SHPL).  

e. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 204 Tahun 2016 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Lampiran 1.19 Akuntansi Aset Tetap  tentang Pengakuan Aset Tetap: 1) Butir 19 yang menyatakan bahwa Pengakuan aset tetap akan sangat andal bila aset tetap telah diterima atau diserahkan hak kepemilikannya dan atau pada saat penguasaannya berpindah; 2) Butir 24.d.2) yang menyatakan bahwa Dalam hal pemerintah belum mempunyai bukti kepemilikan tanah yang sah, tanah tersebut dikuasai dan/atau digunakan oleh pihak lain, maka tanah tersebut dicatat dan disajikan sebagai aset tetap tanah pada neraca pemerintah, serta diungkapkan secara memadai dalam Catatan atas Laporan Keuangan; 

f. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 255 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Aset Daerah yaitu: 

1) Pasal 3 ayat (2) pada:  
a) huruf m: Untuk melaksanakan tugas pengelolaan aset daerah BPAD menyelenggarakan fungsi pengoordinasikan pengamanan aset pada SKPD /UKPD; 
b) huruf n: Untuk melaksanakan tugas pengelolaan aset daerah BPAD menyelenggarakan fungsi pengamanan aset yang berada di pengelola barang; 

2) Pasal 17 ayat (2) huruf l: Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bidang Pembinaan Pengendalian dan Pemanfaatan Aset menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian penanganan penyelesaian permasalahan aset daerah; 

3) Pasal 19 ayat (3) huruf d: Subbidang Pengendalian Aset mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pensertifikatan aset daerah yang berada di luar penguasaan dan penggunaan SKPD/UKPD; 

4) Pasal 19 ayat (3) huruf h: mengkoordinasikan penyelesaian permasalahan aset daerah; 

5) Pasal 28 ayat (3) huruf e: Subbidang Inventarisasi Aset mempunyai tugas menginventarisasi aset daerah berupa tanah yang tercatat dalam neraca SKPD pada lingkungan Provinsi; 

6) Pasal 29 ayat (3) huruf d: Subbidang Dokumentasi Aset mempunyai tugas menyimpan dan mengadministrasikan dokumen aset daerah. 

Permasalahan tersebut mengakibatkan: 
a. Potensi sengketa dan permasalahan hukum yang dapat merugikan Pemprov DKI Jakarta atas pengelolaan tanah HPL dan bangunan di atasnya; 
b. Kehilangan potensi pendapatan karena adanya peluang bagi pihak-pihak lain untuk menguasai dan memanfaatkan aset Pemprov DKI Jakarta tanpa membayar kontribusi; 
c. Pemprov DKI Jakarta kehilangan tanah HPL seluas 3.037 m2  yang telah beralih dari HPL menjadi SHM atas nama pihak lain; 
d. Potensi: 
1) lebih saji pencatatan aset tetap berupa Stadion Sepakbola; 
2) lebih saji pencatatan aset tetap dan aset lainnya UPK PPUMKMP Pulogadung; dan 

3) kurang saji pencatatan aset kerjasama BPAD sebagai PPAD.

Hal tersebut disebabkan: 
a. Kepala BPAD belum optimal melakukan upaya penertiban dan pengamanan atas aset tanah milik Pemprov DKI Jakarta dengan sertifikat HPL yang di atasnya telah diterbitkan Hak Milik;  
b. Kepala Bidang Inventarisasi, Data, Informasi dan Dokumentasi Aset belum optimal dalam pelaksanaan inventarisasi, data, informasi dan dokumentasi aset; 
c. Tugas pokok dan fungsi monitoring aset tanah berupa HPL belum diatur secara jelas.


Selasa, 27 November 2018

Ringkasan Pergub Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata

PERMODALAN DAN BENTUK USAHA

Permodalan usaha pariwisata sebagai berikut:
a. seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara Republik Indonesia;
b. modal patungan antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing; dan/atau
c. seluruh modalnya dimiliki warga negara asing.

Bentuk usaha dengan permodalan 
dapat digolongkan sebagai berikut:
a. usaha mikro dan kecil, dapat berbentuk perseorangan, badan usaha, atau badan usaha berbadan hukum;
b. usaha menengah dapat berbentuk perseorangan, badan usaha, atau badan usaha berbadan hukum; dan
c. usaha besar berbentuk badan usaha berbadan hukum.

PENDAFTARAN USAHA PARIWISATA

(1) Setiap orang atau badan usaha dalam menyelenggarakan usaha pariwisata wajib melakukan pendaftaran usaha pariwisata untuk mendapatkan TDUP.
(2) Pendaftaran usaha pariwisata diajukan ke Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
(3) Khusus untuk usaha pariwisata yang memiliki modal asing dan penanaman modal dalam negeri yang ruang lingkupnya lintas provinsi dan/atau yang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan menjadi kewenangan Pemerintah, pendaftaran usaha pariwisata diajukan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia.

(1) Pendaftaran usaha pariwisata dilakukan pada:
1.a. setiap lokasi;
meliputi bidang usaha: a. usaha daya tarik wisata; b. usaha kawasan pariwisata; c. usaha jasa makanan dan minuman kecuali jenis usaha jasa boga; d. usaha penyediaan akomodasi; e. usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi kecuali jenis usaha jasa impresariat/promotor; f. usaha wisata tirta subjenis usaha dermaga wisata; dan/atau g. usaha spa

1.b. setiap kantor. 
meliputi bidang usaha: a. jasa transportasi wisata yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan, kapal atau kereta api; b. jasa perjalanan wisata; c. jasa makanan dan minuman untuk jenis jasa boga; d. penyelenggaraan hiburan dan rekreasi jenis usaha jasa impresariat/promotor; e. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran; f. jasa informasi pariwisata; g. jasa konsultan pariwisata; h. jasa pramuwisata; dan i. wisata tirta kecuali subjenis usaha dermaga wisata.

Khusus untuk wisata bahari subjenis usaha memancing, pendaftaran usaha pariwisata dapat dilakukan pada setiap lokasi atau kantor

Tahapan Pendaftaran Usaha
Tahapan pendaftaran usaha pariwisata pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan  diselenggarakan tanpa dipungut biaya.,meliputi:
a. permohonan;
b. pemeriksaan berkas;
c. peninjauan teknis lapangan; dan
d. penerbitan TDUP.

a. Permohonan

(1) Setiap Pengusaha Pariwisata untuk mendapatkan TDUP mengajukan permohonan kepada Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
(2) Permohonan untuk memperoleh TDUP diajukan secara tertulis dengan dilengkapi:

a. persyaratan dasar,
meliputi:
1. bagi pemohon perseorangan: fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Nomor Pokok Wajib Pajak pemohon; dan
2. bagi pemohon badan usaha: fotokopi Kartu Tanda Penduduk pimpinan/penanggung jawab badan usaha; fotokopi Akta Pendirian Perusahaan yang telah mendapat pengesahan, fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan Usaha.

b. persyaratan teknis,
meliputi:
1. untuk bidang usaha daya tarik wisata: a) fotokopi bukti hak pengelolaan daya tarik wisata; b) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; c) perjanjian penggunaan bangunan atau tempat usaha; d) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan e) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

2. untuk bidang usaha kawasan pariwisata:
a) fotokopi bukti hak tanah yang digunakan dalam kawasan pariwisata; b) fotokopi bukti hak pengelolaan kawasan pariwisata; c) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; d) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan e) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

3. untuk bidang usaha jasa transportasi wisata:
a) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; b) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; c) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan; dan d) keterangan tertulis tentang perkiraan kapasitas jasa transportasi wisata yang dinyatakan dalam jumlah kendaraan, kapal atau kereta api, serta daya angkut yang tersedia.

 4. Untuk bidang usaha perjalanan wisata:
a) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; b) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan c) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

5. Untuk bidang usaha jasa makanan dan minuman:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Sertifikat Laik Sehat (dilakukan pengurusannya paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan dikecualikan untuk usaha Bar dan Pusat Penjualan Makanan); c) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; d) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan e) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

6. Untuk bidang usaha jasa penyediaan akomodasi:
a) fotokopi bukti hak atas tanah; b) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Sertifikat Laik Sehat (dilakukan pengurusannya paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan dikecualikan untuk usaha Bar dan Pusat Penjualan Makanan); c) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; d) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan e) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

7. Untuk bidang usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Surat Terdaftar Pengobat Tradisional bagi terapis pemijat rumah pijat dari instansi terkait, paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan (khusus untuk usaha rumah pijat); c) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Sertifikat/Rekomendasi Kualitas Air dilakukan pengurusannya paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan untuk usaha Gelanggang Renang, Taman Rekreasi dan Taman Bertema apabila produk utamanya menggunakan Air; d) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; e) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan f) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

8. Untuk bidang usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; c) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan d) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

9. Untuk bidang usaha jasa informasi pariwisata:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerjasama; b) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; c) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan d) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

10. Untuk bidang usaha jasa konsultan pariwisata:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; c) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan d) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

11. Untuk bidang usaha jasa pramuwisata:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; c) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan d) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

12. Untuk bidang usaha tirta:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Sertifikat/Rekomendasi Kualitas Air, dengan kekhususan untuk usaha dermaga wisata dilakukan pengurusannya paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan; c) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; d) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan e) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan.

13. Untuk bidang usaha spa:
a) fotokopi bukti hak atas tanah dan atau bukti sewa/kerja sama; b) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Sertifikat/Rekomendasi Kualitas Air, yang dilakukan pengurusannya paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan; c) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Rekomendasi penggunaan alat kesehatan dari dari instansi terkait (bila menggunakan), paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan; d) Surat Pernyataan Pemilik/Pimpinan Perusahaan untuk mengurus Surat Terdaftar Pengobat Tradisional bagi terapis spa dari instansi terkait, paling lama 3 (tiga) bulan sejak TDUP diterbitkan; e) fotokopi Izin Mendirikan Bangunan; f) fotokopi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang mendapat persetujuan dari instansi terkait; dan g) fotokopi izin lingkungan, dengan pengecualian bagi usaha yang berada pada kawasan yang telah memiliki izin lingkungan

b. Pemeriksaan

Pemeriksaan kelengkapan, kebenaran dan keabsahan berkas permohonan pendaftaran usaha pariwisata oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Peninjauan Teknis Lapangan

(1) Peninjauan teknis lapangan dilakukan oleh tim teknis penilai/penguji fisik perizinan dan non perizinan bidang pariwisata sesuai dengan kompetensinya yang dikoordinasikan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
(2) Peninjauan teknis lapangan  dilakukan 1 hari setelah hasil pemeriksaan berkas permohonan pendaftaran usaha pariwisata dinyatakan lengkap, benar dan absah.
(3) Peninjauan teknis lapangan meliputi pemeriksaan fisik bangunan, lingkungan sekitar usaha pariwisata serta kesesuaian dengan standar usaha untuk bidang, jenis dan subjenis usaha pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hasil peninjauan  dituangkan dalam berita acara peninjauan teknis lapangan yang ditandatangani oleh tim teknis.
(5) Tim teknis dapat merekomendasikan bahwa permohonan dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau ditolak

d. Penerbitan TDUP

(1) Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menerbitkan keputusan tentang TDUP apabila:
a. berkas permohonan dinyatakan lengkap, benar, absah dan sesuai fakta; dan
b. hasil peninjauan teknis lapangan yang merekomendasikan dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Waktu penerbitan TDUP paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang usaha pariwisata masih menjalankan kegiatan usahanya.

(4) TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:
a. nomor pendaftaran usaha pariwisata;
b. tanggal pendaftaran usaha pariwisata;
c. nama pengusaha pariwisata;
d. alamat pengusaha pariwisata;
e. nama pengurus badan usaha untuk pengusaha pariwisata yang berbentuk badan usaha;
f. jenis atau subjenis usaha pariwisata;
g. nama usaha pariwisata;
h. jenis usaha pariwisata lainnya dalam satu manajemen yang sama;
i. lokasi usaha pariwisata;
j. alamat kantor pengelolaan usaha pariwisata;
k. nomor Akta Pendirian Badan Usaha dan perubahannya, untuk Pengusaha Pariwisata yang berbentuk badan usaha atau nomor Kartu Tanda Penduduk untuk Pengusaha Pariwisata perseorangan; l. nama, nomor, dan tanggal izin teknis yang dimiliki Pengusaha Pariwisata;
m. nama dan tanda tangan pejabat yang menerbitkan TDUP;
n. tanggal penerbitan TDUP;
o. apabila diperlukan, diberikan kode sekuriti digital;
p. kewajiban;
q. larangan;
r. sanksi;
s. jam operasional; dan
t. kapasitas usaha.

(5) TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan dasar dalam pelaksanaan sertifikasi usaha pariwisata.

(1) TDUP dapat diberikan kepada Pengusaha Pariwisata yang menyelenggarakan beberapa usaha pariwisata di dalam satu lokasi dan satu manajemen.
(2) TDUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam satu dokumen TDUP.

Pemutakhiran TDUP

(1) Pemutakhiran TDUP dilakukan apabila terdapat suatu perubahan kondisi terhadap hal yang tercantum di dalam keputusan TDUP.

(2) Perubahan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perubahan sarana usaha; b. penambahan kapasitas usaha; c. perluasan lahan dan bangunan usaha; d. nama pengusaha pariwisata; e. alamat pengusaha pariwisata; f. nama pengurus badan usaha untuk pengusaha pariwisata yang berbentuk badan usaha; g. nama usaha pariwisata; h. lokasi usaha pariwisata; i. alamat kantor pengelolaan usaha pariwisata; j. nomor akta pendirian badan usaha untuk pengusaha pariwisata yang berbentuk badan usaha atau nomor kartu tanda penduduk untuk pengusaha pariwisata perseorangan; dan/atau k. nama, nomor, dan tanggal izin teknis yang dimiliki pengusaha pariwisata.

(3) Pengusaha wajib mengajukan permohonan pemuktahiran tanda daftar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis atau elektronik ke Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak terjadi 1 (satu) atau lebih perubahan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Permohonan pemuktahiran TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melampirkan dokumen-dokumen perubahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pendaftaran Pertunjukan Temporer

(1) Setiap penyelenggara usaha pariwisata yang akan menyelenggarakan pertunjukan temporer wajib memperoleh Tanda Daftar Pertunjukan Temporer dari Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Khusus Tanda Daftar Pertunjukan Temporer untuk artis/olahragawan asing, Dinas melakukan penilaian/sensor terhadap pertunjukan dimaksud melalui tim penilai kegiatan hiburan daerah yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur dengan beranggotakan instansi teknis terkait.

(3) Tim penilai kegiatan hiburan daerah mengeluarkan surat persetujuan penyelenggaraan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah sensor dinyatakan memenuhi syarat, untuk selanjutnya diserahkan ke Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu sebagai persyaratan teknis penerbitan Tanda Daftar Pertunjukan Temporer.

(4) Untuk pertunjukan temporer pada acara hiburan menjelang dan pada saat tahun baru berupa pertunjukan kesenian, musik, film dan hiburan lainnya yang dilengkapi dekorasi/hiasan/ornamen yang menggambarkan/mencirikan suasana penyambutan tahun baru yang diselenggarakan di tempat atau di luar usaha pariwisata baik di ruang tertutup atau di ruang terbuka wajib memperoleh Tanda Daftar Pertunjukan Temporer.

(5) Khusus pertunjukan temporer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dilaksanakan di kampus dan atau sekolah, permohonan untuk memperoleh Tanda Daftar Pertunjukan Temporer diajukan oleh penanggung jawab kegiatan yang diketahui oleh Rektor/Direktur/Kepala Sekolah bersangkutan.

(6) Untuk memperoleh Tanda Daftar Pertunjukan Temporer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengusaha pariwisata mengajukan permohonan secara tertulis atau elektronik kepada Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan jenis pertunjukannya paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum kegiatan diselenggarakan dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagai berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama pengusaha dan/atau manajemen usaha;
b. susunan kepanitiaan;
c. surat pernyataan tidak keberatan dari pemilik tempat;
d. susunan acara, jenis pertunjukan, nama artis/pemain, judul film/acara yang telah disensor dan mencantumkan harga tanda masuk, tiket/undangan;
e. surat rekomendasi/atau izin pertunjukan artis asing dari instansi yang berwenang serta kontrak kerja dengan manajemen artis asing dan/atau artis yang bersangkutan, apabila menampilkan pertunjukan artis asing; dan/atau
f. surat rekomendasi dan atau izin menyelenggarakan undian berhadiah dari instansi yang berwenang, apabila ada penyelenggaraan undian berhadiah dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

 (7) Selain memperoleh Tanda Daftar Pertunjukan Temporer sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib memperoleh izin keramaian dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. 

Sertifikasi Usaha, Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Halal

(1) Setiap pengusaha pariwisata yang telah memperoleh TDUP wajib melakukan sertifikasi usaha dan sertifikasi kompetensi melalui lembaga sertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah TDUP diterbitkan.
(3) Selain sertifikasi usaha dan sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap pengusaha pariwisata tertentu dapat mengajukan sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

HAK DAN KEWAJIBAN

(1) Setiap Pengusaha Pariwisata berhak:
a. mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan;
b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. mendapatkan fasilitas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


(2) Setiap Pengusaha Pariwisata berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan;
e. memberikan perlindungan asuransi pada wisatawan terhadap kegiatan berisiko tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan;
f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
i. menjalani sertifikasi rutin di dalam memenuhi standar usaha dan standar kompetensi;
j. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
k. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
l. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
m. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya daerah;
n. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab;
o. menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; p. menyampaikan laporan setiap tahun kepada Pemerintah Daerah;
q. memenuhi persyaratan dalam hal mempekerjakan tenaga asing;
 r. khusus pengusaha tempat hiburan malam wajib melakukan pencegahan terhadap pengunjung di bawah umur masuk ke tempat usahanya;
s. mencegah pengunjung dibawah umur 21 (dua puluh satu) tahun membeli dan mengkonsumsi minuman beralkohol di lingkungan tempat usahanya;
t. mengawasi dan melaporkan apabila terjadi transaksi dan atau penggunaan/konsumsi narkotika dan zat psikotropika lainnya dilingkungan tempat usahanya; dan
u. mengawasi dan melaporkan apabila terjadi kegiatan perjudian di lingkungan tempat usahanya


Waktu Penyelenggaraan

(1) Setiap usaha pariwisata dapat diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. jasa perjalanan wisata waktu penyelenggaraan kegiatan usaha setiap hari mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 22.00;

b. jasa makanan dan minuman untuk jenis usaha bar/rumah minum yang berdiri sendiri/bukan merupakan fasilitas penunjang usaha pariwisata lainnya, waktu penyelenggaraan kegiatan usaha setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 01.00;

c. hiburan dan rekreasi untuk jenis usaha:
1. gelanggang rekreasi olahraga subjenis usaha:
a) lapangan golf waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 05.00 sampai dengan pukul 18.00;
b) arena latihan golf waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 05.00 sampai dengan pukul 22.00;
c) rumah biliar/bola sodok, lapangan tenis, gelanggang bola gelinding (bowling), seluncur, dan kolam pemancingan, waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 24.00; dan
d) pusat kesegaran jasmani dan usaha pusat olahraga (sport centre) waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00.

2. gelanggang seni subjenis usaha:
a) sanggar seni dan galeri seni waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 22.00; dan
b) gedung pertunjukan seni waktu penyelenggaraan kegiatan usaha setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 01.00.

3. arena permainan ketangkasan subjenis usaha:
a) arena permainan ketangkasan manual, mekanik dan/atau elektronik untuk orang dewasa waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 02.00; dan
b) arena permainan ketangkasan manual, mekanik dan/atau elektronik untuk anakanak/keluarga waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 22.00.

4. hiburan malam subjenis usaha kelab malam, diskotek dan pub waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 20.00 sampai dengan pukul 02.00, kecuali pada hari Jum'at dan Sabtu dimulai pada pukul 20.00 sampai dengan pukul 03.00;

5. karaoke subjenis usaha karaoke eksekutif dan karaoke keluarga waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 14.00 sampai dengan pukul 02.00;

6. panti pijat subjenis usaha griya pijat dan panti mandi uap waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 23.00;

7. taman rekreasi subjenis usaha:
a) taman margasatwa dan taman rekreasi waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00; dan
b) taman bertema waktu penyelenggaraan kegiatan usaha setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 22.00.

8. pemutaran film waktu penyelenggaraan pada hari Senin sampai dengan hari Jum'at mulai pukul 14.00 sampai dengan pukul 24.00, hari Sabtu mulai pukul 12.00 sampai dengan pukul 24.00, pada hari libur mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 24.00 dan pada malam libur dapat menyelenggarakan pertunjukan tengah malam mulai pukul 24.00 sampai dengan pukul 03.00;

9. penyediaan jasa perawatan rambut/salon, waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 22.00;

10. jasa pertunjukan temporer waktu penyelenggaraan disesuaikan dengan jenis pertunjukan; dan

11. jasa penyediaan balai pertemuan waktu penyelenggaraan disesuaikan dengan jenis pertemuan.

d. jenis usaha spa
waktu penyelenggaraan setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 23.00.

(2) Setiap usaha pariwisata selain yang disebutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan setiap hari selama 24 (dua puluh empat) jam dan/atau sesuai kebutuhan.

(1) Jenis usaha/subjenis usaha pariwisata tertentu wajib tutup pada:
a. 1 (satu) hari sebelum dan selama bulan Ramadhan;
b. 1 (satu) hari sebelum Hari Raya Idul Fitri/Malam Takbiran;
c. hari pertama dan hari kedua Hari Raya Idul Fitri;
d. 1 (satu) hari setelah Hari Raya Idul Fitri;
e. 1 (satu) hari sebelum Hari Raya Idul Adha;
f. hari Raya Idul Adha; dan
g. hari raya keagamaan lainnya.

(2) Hari raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g ditetapkan oleh Kepala Dinas.

(3) Jenis usaha/subjenis usaha pariwisata tertentu yang harus tutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. kelab malam;
b. diskotek;
c. mandi uap;
d. rumah pijat;
e. arena permainan ketangkasan manual, mekanik dan/atau elektronik untuk orang dewasa; dan
f. bar/rumah minum yang berdiri sendiri dan yang terdapat pada kelab malam, diskotik, mandi uap, rumah pijat dan arena permainan ketangkasan manual, mekanik dan/atau elektronik untuk orang dewasa.

(4) Seluruh kegiatan usaha pariwisata lainnya yang menjadi penunjang usaha pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan merupakan satu kesatuan dalam satu ruangan dinyatakan harus tutup.

(5) Subjenis usaha karaoke eksekutif, pub dapat menyelenggarakan kegiatan pada bulan Ramadhan mulai pukul 20.30 sampai dengan pukul 01.30 dan untuk karaoke keluarga dapat menyelenggarakan kegiatan usaha mulai pukul 14.00 sampai dengan pukul 02.00.

(6) Usaha rumah billiar/bola sodok dapat menyelenggarakan kegiatan pada bulan Ramadhan sebagai berikut:
a. yang berlokasi dalam satu ruangan dengan usaha karaoke dan pub sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mulai pukul 20.30 sampai dengan pukul 01.30; dan
b. yang berlokasi tidak dalam satu ruangan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 24.00.

(7) Usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (5) yang diselenggarakan di hotel bintang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1).

(8) Khusus subjenis usaha diskotek yang diselenggarakan menyatu dengan kawasan komersial dan area hotel minimal bintang empat serta tidak berdekatan dengan pemukiman warga, rumah ibadah, sekolah dan/atau rumah sakit dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(9) Usaha pariwisata sebagaimana dimaksud ayat (4) sampai dengan ayat (7) juga wajib tutup pada: a. 1 (satu) hari sebelum bulan Ramadhan;
b. hari pertama bulan Ramadhan
c. 1 (satu) hari sebelum Hari Raya Idul Fitri/Malam Takbiran;
d. hari pertama dan kedua Hari Raya Idul Fitri;
e. 1 (satu) hari setelah Hari Raya Idul Fitri;
f. 1 (satu) hari sebelum Hari Raya Idul Adha;
g. hari Raya Idul Adha; dan
h. hari raya keagamaan lainnya.

Pada saat bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan hari raya keagamaan lainnya setiap penyelenggaraan Usaha pariwisata:
a. dilarang memasang reklame/poster/publikasi serta pertunjukan film dan pertunjukan lainnya yang bersifat pornografi, pornoaksi dan erotisme;
b. dilarang menimbulkan gangguan terhadap lingkungan;
c. dilarang menyediakan hadiah dalam bentuk dan jenis apapun;
d. dilarang memberi kesempatan untuk melakukan taruhan/perjudian;
e. harus menghormati/menjaga suasana yang kondusif pada bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan hari raya keagamaan lainnya;
f. mengharuskan setiap karyawan dan pengunjung berpakaian sopan; dan
g. untuk usaha pariwisata bidang usaha jasa makanan dan minuman yang tidak terkena larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dihimbau untuk memakai tirai agar tidak terlihat 

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dunia Usaha 

(1) Setiap Pengusaha Pariwisata yang menyelenggarakan usaha pariwisata wajib melaksanakan TSLDU.

(2) TSLDU sebagaimana di maksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. bina pendidikan; b. bina sosial dan budaya; c. bina ekonomi; d. bina fisik lingkungan; e. penanggulangan bencana; f. pencegahan peredaran, penjualan dan pemakaian narkotika dan/atau zat psikotropika lainnya; g. pencegahan terjadinya perbuatan asusila dan/atau prostitusi; dan h. pencegahan terjadinya perjudian.

(3) TSLDU lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 44
Dalam pelaksanaan TSLDU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf f khusus bagi setiap Pengusaha Pariwisata yang menyelenggarakan kegiatan usaha jenis hiburan malam dan karaoke wajib melakukan pencegahan peredaran, penjualan dan pemakaian narkotika dan/atau zat psikotropika lainnya.


Pasal 45
(1) Kewajiban pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 bagi setiap Pengusaha Pariwisata yang menyelenggarakan kegiatan usaha jenis hiburan malam dan karaoke dilakukan dalam bentuk pengawasan internal terhadap pengunjung/tamu dan/atau karyawan.

(2) Pengawasan internal terhadap pengunjung/tamu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. melakukan pemeriksaan terhadap pengunjung/tamu sebelum memasuki tempat hiburan;
b. melakukan pemantauan terhadap pengunjung/tamu selama didalam tempat hiburan;
c. Pemeriksaan sebelum memasuki tempat hiburan dilakukan secara berlapis dengan tahapan sebagai berikut:
1. memeriksa barang bawaan secara detail;
2. melakukan pemeriksaan badan (body checking); dan
3. apabila diperlukan dapat menggunakan mesin x-ray scanner.

d. pemantauan di dalam tempat hiburan di atas dilakukan secara terus menerus selama operasional berlangsung dengan cara:
1. menempatkan personil keamanan di beberapa titik strategis untuk memantaupengunjung;
2. melakukan pemantauan secara diam-diam (silent operation); dan
3. memasang televisi sirkuit tertutup (closed circuit television) di beberapa titik strategis dan memantau secara terus menerus melalui ruang kontrol.

(3) Pengawasan internal terhadap karyawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. memeriksa seluruh karyawan setiap kali memasuki tempat kerja dan melakukan pemantauan terhadap karyawan selama di tempat kerja;
b. pemeriksaan sebelum memasuki tempat kerja dilakukan dengan pemeriksaan badan (body checking) dan terhadap seluruh barang bawaan karyawan; dan
c. melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap locker, perlengkapan, sarana dan prasarana kerja karyawan.

(4) Dalam hal pelaksanaan pengawasan internal dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pengusaha/manajemen/penanggung jawab dapat meminta bantuan kepada Badan Narkotika Nasional dan Kepolisian untuk membantu proses pemeriksaan.

(5) Pengusaha/manajemen/penanggung jawab wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila dalam melakukan pengawasan internal dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan adanya barang bukti dan/atau penggunaan narkotika dan/atau zat psikotropika lainnya di tempat usahanya

Laporan Kegiatan Usaha 

Pasal 46
(1) Setiap pengusaha pariwisata wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Usaha pariwisata kepada Kepala Dinas setiap 6 (enam) bulan sekali.

(2) Laporan Kegiatan Usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. profil usaha: 
1. identitas usaha (nama usaha, nama pemilik/penanggung jawab, nomor TDUP, bidang/jenis/subjenis usaha, klasifikasi usaha, kapasitas dan alamat lengkap lokasi usaha); dan
2. keterangan badan usaha (nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan, TDUP, dokumen pendirian dan atau perubahan, susunan pengurus, status permodalan dan alamat lengkap lokasi perusahaan).

b. penyelenggaraan kegiatan usaha: 
1. aspek produk (sarana dan fasilitas produk yang dimiliki);
2. pelayanan (sarana dan fasilitas dalam memberikan pelayanan);
3. Pengelolaan (organisasi, manajemen dan sumber daya manusia);
4. perkembangan usaha dan strategi pengembangannya;
5. peran serta dalam pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan;
6. kontribusi terhadap program Pemerintah Daerah;
7. masukan kepada Pemerintah Daerah; dan
8. pemberian data dan informasi rinci kegiatan usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai data dan informasi rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 8, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas.

(4) Kepala Dinas melakukan verifikasi terhadap Laporan Kegiatan Usaha pariwisata yang disampaikan.

(5) Dinas memberikan pengesahan terhadap Laporan Kegiatan Usaha pariwisata yang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Terhadap usaha pariwisata yang menyampaikan Laporan Kegiatan Usaha pariwisata tidak benar dan/atau tidak sesuai dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 47
(1) Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu melaporkan hasil pendaftaran usaha pariwisata kepada Gubernur setiap bulan dan salinannya disampaikan kepada Kepala Dinas.

(2) Laporan hasil pendaftaran usaha pariwisata dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. salinan sertifikat dan Surat Keputusan TDUP;
b. jumlah usaha pariwisata berdasarkan jenis usaha;
c. jumlah kapasitas berdasarkan jenis usaha;
d. perubahan jumlah usaha pariwisata berdasarkan jenis usaha apabila dibandingkan dengan jumlah pada periode pelaporan sebelumnya;
e. keterangan tentang hal yang menyebabkan perubahan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada huruf c, khusus dalam hal terjadi pengurangan atau penambahan; dan
f. jumlah usaha pariwisata yang terkena sanksi pencabutan TDUP.

PEMBINAAN

 Pasal 48
(1) Dinas melakukan pembinaan dalam rangka meningkatkan mutu produk dan pelayanan, pengelolaan usaha serta dalam upaya menciptakan tertib administrasi, tertib usaha dan tertib peraturan penyelenggaraan usaha pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. sosialisasi, bimbingan teknis, supervisi dan konsultasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. pengembangan sistem informasi;
e. penyebarluasan informasi kepada masyarakat;
f. pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat;
g. memberikan penghargaan bagi usaha dan tenaga kerja pariwisata yang berprestasi; dan/atau
h. fasilitasi pemasaran/promosi.

(3) Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dinas dapat melakukan pemanggilan terhadap Pengusaha Pariwisata untuk meminta penjelasan terhadap penyelenggaraan usaha pariwisata.

(4) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan instansi terkait dan/atau asosiasi di bidang kepariwisataan dan/atau pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

PENGAWASAN DAN EVALUASI 

Bagian Kesatu Pengawasan Pasal 49
(1) Dinas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata dapat berupa pemantauan, monitoring atau pemeriksaan ke lapangan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.

(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara rutin dan khusus.

(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap hari secara rutin pada tingkat Provinsi dan Kota Administrasi/Kabupaten Kota Administrasi.

(4) Pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara insidentil dan/atau atas dasar maksud dan tujuan tertentu meliputi:
a. pengawasan penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata pada bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan hari raya keagamaan lainnya;
b. pengawasan penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata pada malam pergantian tahun masehi/tahun baru;
c. adanya pengaduan/laporan masyarakat terkait dengan terjadinya pelanggaran atau musibah di tempat usaha pariwisata;
d. adanya pemberitaan media massa terkait dugaan adanya tindakan asusila, peredaran, penjualan dan/atau pemakaian narkotika dan/atau zat psikotropika lainnya di tempat usaha pariwisata; dan
e. adanya tindak pidana dan pelanggaran lainnya dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata.

(5) Dalam kondisi tertentu pelaksanaan pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh tim terpadu yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 

Evaluasi 

Pasal 50
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Kepala Dinas melakukan evaluasi terhadap usaha pariwisata meliputi:
 a. kesesuaian legalitas TDUP yang dimiliki dengan kegiatan yang diselenggarakan;
 b. kesesuaian dan kelayakan fungsi fisik bangunan, ruangan peralatan dan perlengkapan yang digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. pelaksanaan dan penerapan sertifikasi usaha dan sertifikasi kompetensi;
d. kepatuhan terhadap larangan dan kewajiban yang berkaitan dengan penyelenggaraan usaha pariwisata;
e. kepatuhan terhadap peraturan tentang:
1. penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata;
2. penyelenggaraan sertifikasi usaha dan sertifikasi kompetensi;
3. pajak daerah;
4. ketenagakerjaan;
5. lingkungan;
6. sosial kemasyarakatan;
7. kesehatan;
8. narkotika dan zat psikotropika lainnya;
9. kesusilaan; dan
10. perjudian.

f. tindak lanjut atas:
1. hasil temuan di lapangan;
2. informasi yang bersumber dari media masa; dan
3. berdasarkan pengaduan masyarakat.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Dinas kepada Gubernur secara berkala

PAJAK DAERAH 

Pasal 51
(1) Setiap penyelenggaraan usaha pariwisata yang termasuk objek pajak dikenakan Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengusaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendaftarkan usahanya ke Perangkat Daerah yang bertanggung jawab di bidang Pajak Daerah untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.

(3) Pengusaha Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar kewajiban Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 52
(1) Setiap Pengusaha Pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39, Pasal 43 dan Pasal 46 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis pertama;
b. teguran tertulis kedua;
c. teguran tertulis ketiga;
d. penghentian sementara kegiatan usaha pariwisata; dan
e. pencabutan TDUP disertai dengan penutupan kegiatan usaha pariwisata. 

Pasal 53
(1) Teguran tertulis dilakukan secara kumulatif dan bertahap yaitu mulai dari teguran tertulis pertama, teguran tertulis kedua, teguran tertulis ketiga antara lain:
 a. teguran tertulis pertama dengan tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat teguran tertulis pertama diterima oleh yang bersangkutan;
b. teguran tertulis kedua dengan tenggang waktu selama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak teguran tertulis pertama berakhir; dan
c. teguran tertulis ketiga dengan tenggang waktu selama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak teguran tertulis kedua berakhir.


(2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan selama pelanggaran masih terjadi atau adanya bentuk pelanggaran lain dengan ketentuan sanksi yang sama.

(3) Selain sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada usaha pariwisata yang tidak melaksanakan Sertifikasi Usaha dan Sertifikasi Kompetensi dengan tenggang waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kerja.

(4) Sanksi Penghentian Sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha pariwisata yang tidak mematuhi sanksi teguran tertulis ketiga.

 (5) Sanksi Penghentian Sementara kegiatan usaha diberikan juga kepada Penyelenggara dan/atau Pengusaha Pariwisata dalam hal;
a. Pengusaha Pariwisata tidak menyelenggarakan kegiatan usaha secara terus menerus untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih;
b. tidak memiliki Tanda Daftar Pertunjukan Temporer;
c. melakukan pelanggaran ketentuan waktu penyelenggaraan usaha pariwisata; dan
d. Pengusaha Pariwisata yang terbukti melakukan pelanggaran ketentuan penyelenggaraan usaha di bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan hari raya keagamaan lainnya.

(6) Pengenaan sanksi Penghentian Sementara kegiatan usaha pariwisata dilakukan oleh Dinas dan apabila dilanjutkan dengan penutupan berkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang bertanggung jawab di bidang penegakan Peraturan Daerah.

(7) Sanksi Pencabutan TDUP dikenakan kepada Pengusaha Pariwisata yang tidak mematuhi Sanksi Penghentian Sementara kegiatan usaha pariwisata.

(8) Sanksi Pencabutan TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada: a. Pengusaha Pariwisata yang terkena sanksi penghentian kegiatan usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;b. Pengusaha Pariwisata yang tidak menyelenggarakan kegiatan usaha secara terus menerus dalam jangka waktu 1 (satu) tahun atau lebih; dan/atau c. Pengusaha Pariwisata yang menyampaikan dokumen yang dipalsukan pada saat proses pendaftaran usaha pariwisata dan/atau pemutakhiran TDUP.

(9) Pencabutan TDUP dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atas dasar usulan yang disampaikan oleh Dinas.

(10) Terhadap pelanggaran kegiatan usaha pariwisata yang dilakukan oleh Pengusaha Pariwisata penanaman modal asing usulan pencabutan TDUP disampaikan Dinas kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Koordinasi Penanaman Modal

Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Narkotika, Prostitusi dan Perjudian
Pasal 54
(1) Setiap pengusaha dan/atau manajemen perusahaan pariwisata yang terbukti tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf t berdasarkan hasil temuan di lapangan, informasi yang bersumber dari media massa dan/atau pengaduan masyarakat dengan melakukan pembiaran terjadinya peredaran, penjualan dan pemakaian narkotika dan/atau zat psikotropika lainnya di lokasi tempat usaha pariwisata dalam 1 (satu) manajemen dilakukan pencabutan TDUP secara langsung tanpa melalui tahapan sanksi teguran tertulis pertama, teguran tertulis kedua, teguran tertulis ketiga dan penghentian sementara kegiatan usaha.

(2) Pencabutan TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Dinas.

(3) Pencabutan TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atas dasar usulan yang disampaikan oleh Dinas.

(4) Terhadap pengusaha pariwisata yang dikenakan sanksi pencabutan TDUP atas pelanggaran peredaran, penjualan dan pemakaian narkotika dan zat psikotropika lainnya dilarang mendirikan usaha pariwisata hiburan sejenisnya.

Pasal 55
(1) Setiap pengusaha dan/atau manajemen perusahaan pariwisata yang terbukti tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf k berdasarkan hasil temuan di lapangan, informasi yang bersumber dari media massa dan/atau pengaduan masyarakat dengan menyajikan dan/atau memperdagangkan manusia sehingga terjadinya perbuatan asusila dan/atau prostitusi di lokasi tempat usaha pariwisata dalam 1 (satu) manajemen dilakukan pencabutan TDUP secara langsung tanpa melalui tahapan sanksi teguran tertulis pertama, teguran tertulis kedua, teguran tertulis ketiga dan penghentian sementara kegiatan usaha.

(2) Pencabutan TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Dinas.

(3) Pencabutan TDUP sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atas dasar usulan yang disampaikan oleh Dinas.

(4) Terhadap pengusaha pariwisata yang dikenakan sanksi pencabutan TDUP atas pelanggaran menyajikan dan/atau memperdagangkan manusia sehingga terjadinya perbuatan asusila dan/atau prostitusi dilarang mendirikan usaha pariwisata hiburan sejenisnya.

Pasal 56
(1) Setiap pengusaha dan/atau manajemen perusahaan pariwisata yang terbukti tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf u berdasarkan hasil temuan di lapangan, informasi yang bersumber dari media massa dan/atau pengaduan masyarakat dengan melakukan pembiaran terjadinya kegiatan perjudian di lokasi tempat usaha pariwisata dalam 1 (satu) manajemen dilakukan pencabutan TDUP secara langsung tanpa melalui tahapan sanksi teguran tertulis pertama, teguran tertulis kedua, teguran tertulis ketiga dan penghentian sementara kegiatan usaha.

(2) Pencabutan TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Dinas.

(3) Pencabutan TDUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atas dasar usulan yang disampaikan oleh Dinas.

(4) Terhadap pengusaha pariwisata yang dikenakan sanksi pencabutan TDUP atas pelanggaran terjadinya kegiatan perjudian dilarang mendirikan usaha pariwisata hiburan sejenisnya.

Pasal 57
(1) Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan/atau Kepolisian, maka terhadap usaha pariwisata yang dihentikan kegiatannya dilakukan penutupan.

(2) Penutupan penyelenggaraan usaha pariwisata dilakukan setelah pencabutan TDUP dengan tahapan:
a. memberitahukan kepada Pengusaha Pariwisata dan/atau manajemen secara lisan alasanalasan penutupan;
b. dilaksanakan pada saat tidak ada pengunjung;
c. apabila harus dilakukan pada saat ada pengunjung tim mengumumkan akan dilakukan penutupan kepada pengunjung dan memerintahkan untuk meninggalkan tempat;
 d. menertibkan dan menjaga keamanan pengunjung, tenaga kerja dan Pengusaha Pariwisata dan/atau manajemen serta lingkungan sekitarnya;
 e. apabila keadaan sudah dinyatakan aman, penutupan dilaksanakan dengan cara:
1. menghentikan fungsi, mengumpulkan dan mengikat atau mengunci peralatan yang digunakan untuk penyelenggaraan usaha pariwisata;
2. menempelkan lembar pengumuman penutupan pada pintu masuk yang di kunci atau pada tempat lain yang mudah dibaca oleh pengunjung; dan
 3. membuat Berita Acara Penutupan Penyelenggaraan Industri Pariwisata.

(3) Pelaksanaan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dalam bidang penegakan Peraturan Daerah.

(4) Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dalam bidang penegakkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melibatkan penegak hukum dan/atau Perangkat Daerah terkait

Bidang usaha pariwisata DKI

Bidang usaha pariwisata meliputi: 
  1. usaha daya tarik wisata;
  2. usaha kawasan pariwisata;
  3. usaha jasa transportasi wisata; 
  4. usaha jasa perjalanan wisata;
  5. usaha jasa makanan dan minuman;
  6. usaha penyediaan akomodasi; 
  7. usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; 
  8. usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran; 
  9. usaha jasa informasi pariwisata;
  10. usaha jasa konsultan pariwisata;
  11. usaha jasa pramuwisata; 
  12. usaha wisata tirta; dan 
  13. usaha spa. 

1. usaha daya tarik wisata  

meliputi jenis usaha mengelola: 

1.a. daya tarik wisata alam
meliputi  
a. kepulauan; b. laut; c. pantai; d. pesisir; e. sungai; f. situ/danau; g. budidaya agro, flora dan fauna; dan h. taman dan hutan kota

Kegiatan:
a. penyediaan prasarana dan sarana bagi wisatawan; 
b. pengelolaan usaha daya tarik wisata alam; dan 
c. penyediaan prasarana dan sarana bagi masyarakat sekitar untuk berperan serta dalam kegiatan usaha daya tarik wisata alam.

1.b. daya tarik wisata budaya 
meliputi  
a. situs peninggalan bersejarah dan purbakala;
b. cagar budaya; 
c. gedung bersejarah; 
d. monumen; 
e. museum; 
f. kampung kebudayaan lokal; 
g. kegiatan seni dan budaya; 
h. galeri seni dan budaya; 
i. objek ziarah; dan 
j. wisata religi.


kegiatan:
a. penyediaan prasarana dan sarana bagi wisatawan; 
b. pengelolaan usaha daya tarik wisata budaya; dan
c. penyediaan prasarana dan sarana bagi masyarakat di sekitarnya untuk berperan serta dalam kegiatan usaha daya tarik wisata.

1. c. daya tarik wisata buatan.
meliputi:
a. bangunan arsitektur kota; 
b. bandara, pelabuhan dan stasiun; 
c. pasar tradisional; 
d. sentra perbelanjaan modern; 
e. tempat ibadah; dan 
f. tempat-tempat wisata buatan.

kegiatan:
a. penyediaan prasarana dan sarana bagi wisatawan; 
b. pengelolaan usaha daya tarik wisata buatan; dan 
c. penyediaan prasarana dan sarana bagi masyarakat di sekitarnya untuk berperan serta dalam kegiatan.

2. Usaha kawasan pariwisata

meliputi jenis usaha:
a. kawasan dan jalur wisata; dan b. kawasan pariwisata khusus

meliputi:
a. penyewaan lahan yang telah dilengkapi dengan prasarana sebagai tempat untuk menyelenggarakan usaha pariwisata dan fasilitas pendukung lainnya; 
b. penyediaan bangunan untuk menunjang kegiatan pariwisata di dalam kawasan pariwisata; dan 
c. kawasan yang diperuntukkan khusus untuk wisata halal dan/atau yang bersifat tematik.

3. usaha jasa transportasi wisata 

memiliki kriteria sebagai berikut:
a. mengangkut wisatawan; 
b. pelayanan angkutan dari dan ke daerah tujuan wisata serta di dalam kawasan pariwisata; 
c. menggunakan kendaraan bermotor dan/atau angkutan tidak bermotor; 
d. tidak masuk terminal; dan 
e. tidak boleh digunakan selain keperluan wisata.

meliputi jenis usaha:
a. angkutan jalan wisata; 
b. angkutan kereta api wisata; 
c. angkutan sungai, danau dan setu wisata; (apabila berupa kendaraan tidak bermotor hanya dapat beroperasi di dalam kawasan pariwisata atas sepengetahuan pengelola dan Perangkat Daerah terkait. )
d. angkutan penyeberangan pulau wisata; 
e. angkutan laut domestik wisata; dan 
f. angkutan laut internasional wisata.

4. Usaha jasa perjalanan wisata

meliputi jenis usaha:
a. biro perjalanan wisata; dan 
b. agen perjalanan wisata.

5. usaha jasa makanan dan minuman

meliputi jenis usaha:
a. restoran; b. rumah makan; c. bar/rumah minum; d. kafe; e. pusat penjualan makanan; f. jasa boga; g. bakeri; h. kedai kopi (coffee house); i. kantin/kafetaria; j. penjualan makanan dan minuman bergerak; dan k. penjualan makanan dan minuman terapung. 

6. usaha penyediaan akomodasi 

meliputi jenis usaha: 
a. hotel; b. kondominium hotel; c. apartemen servis; d. bumi perkemahan; e. persinggahan karavan; f. villa; g. pondok wisata; h. jasa manajemen hotel; i. hunian wisata senior atau lanjut usia; j. rumah wisata; k. motel; l. hunian wisata; m. resort wisata; n. penginapan remaja; dan o. wisma.

7. Usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi

meliputi jenis usaha:
a. gelanggang rekreasi olahraga; b. pemutaran film;c. gelanggang seni; d. arena permainan; e. hiburan malam; f. rumah pijat; g. taman rekreasi; h. karaoke; i. jasa impresariat/promotor; dan j. jasa perawatan rambut.

7.a. gelanggang rekreasi olahraga;
meliputi subjenis usaha:
a. lapangan golf; b. arena latihan golf (driving range); c. rumah biliar/bola sodok; d. gelanggang renang; e. lapangan tenis; f. gelanggang bola gelinding (bowling); g. pusat kesegaran jasmani; h. pusat olahraga (sport centre); i. seluncur; dan j. kolam pemancingan.

7.b.Usaha pemutaran film 
adalah tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar, gambar film diproyeksikan ke layar menggunakan proyektor.

7.c.Usaha gelanggang seni 
meliputi subjenis usaha: 
a. sanggar seni; b. galeri seni; dan c. gedung pertunjukan seni.

7.d. usaha arena permainan
meliputi subjenis usaha: 
a. arena permainan ketangkasan manual, mekanik dan/atau elektronik untuk orang dewasa; dan b. arena permainan ketangkasan keluarga manual, mekanik dan/atau elektronik untuk anakanak/keluarga.

7.e. usaha hiburan malam 
meliputi subjenis usaha: 
a. kelab malam; b. diskotek; dan c. pub.

7.f. Usaha rumah pijat 
meliputi subjenis usaha: 
a. griya pijat; dan b. panti mandi uap

7.g. usaha taman rekreasi
meliputi subjenis usaha:
a. taman rekreasi; b. taman bertema; dan c. taman margasatwa

7.h. usaha karaoke
meliputi subjenis usaha: a. karaoke eksekutif; dan b. karaoke keluarga

7.i. Usaha jasa impresariat/promotor 
meliputi subjenis usaha penyelenggara: 
a. hiburan musik dengan menghadirkan artis; b. hiburan dengan menghadirkan tokoh masyarakat; c. hiburan pertandingan olahraga; dan d. hiburan budaya.


8.  Usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran

digolongkan menjadi kegiatan usaha penyelenggaraan:
a. pertemuan/rapat; 
b. kongres, konferensi atau konvensi; 
c. perjalanan insentif; dan 
d. pameran.

9.  Usaha jasa informasi pariwisata 

merupakan usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak, dan/atau elektronik.

10.  Usaha jasa konsultan pariwisata

merupakan usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian dan pemasaran di bidang kepariwisataan.
meliputi jenis usaha: 
a. jasa konsultan pariwisata; dan 
b. jasa manajemen usaha pariwisata lainnya.

11.  Usaha jasa pramuwisata 

merupakan usaha yang menyediakan jasa dan/atau mengelola tenaga pramuwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata. 
yaitu jasa yang diberikan oleh seseorang berupa bimbingan, penerangan dan petunjuk tentang daya tarik wisata serta membantu segala sesuatu yang diperlukan oleh wisatawan sesuai dengan etika profesinya.

12.  Usaha wisata tirta

meliputi jenis usaha: 
a. wisata arung jeram; b. wisata dayung; c. wisata selam; d. wisata memancing; e. wisata selancar; f. dermaga wisata; g. wisata perahu layar; h. wisata ski air; i. wisata perahu motor; dan j. wisata sepeda air

Sumber: 
PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PARIWISATA